Bambu Runcing Mimpi Buruk Penjajah, Ternyata Ulama Inilah yang Membuat Senjata itu Bertuah



Bambu Runcing Mimpi Buruk Penjajah, Ternyata Ulama Inilah yang Membuat Senjata itu Bertuah


Bangsa Indonesia mempunyai pengalaman pahit dan sejarah yang panjang sebelum merdeka, konon katanya bangsa Belanda mengeruk, mengekploitasi atau tepatnya menjajah kita 350 tahun lamanya. Bayangkan, selama kurun waktu selama itu berapa generasi bangsa Indonesia yang harus hidup dalam keterbatasan, kemiskinan, kebodohan, dan kebengisan penjajah.
Namun sejarah membuktikan bahwa bangsa kita bukanlah bangsa yang cengeng, tapi bangsa terhormat dan pemberani. Buktinya, penjajah tak pernah bisa tidur nyenyak di bumi pertiwi ini, perlawanan demi perlawanan terus berkobar di berbagai tempat yang dimotori oleh para ulama, santri, dan tokoh pemuda. Perang Aceh, Tapanuli, Paderi, Jawa, Banjar, Bali dan seterusnya, walaupun pada umumnya perlawanan itu bisa dipadamkan, namun setidaknya bangsa kita telah menunjukan bahwa mereka tidak rela harga diri bangsa ini di injak-injak.
Perlawanan rakyat pada waktu itu bisa dibilang nekat, mereka harus menghadapi senapan otomatis, tank baja, dan bom modern hanya dengan senjata tradisional saja, baik golok, pedang, rencong, badik dan lain sebagainya. Selain senjata itu, rakyat juga dibekali senjata sederhana yaitu bambu runcing, namun tak diduga senjata ini ternyata paling ditakuti penjajah bahkan melegenda hingga kini.
Pertanyaannya, mengapa Belanda begitu takut oleh senjata sederhana itu, mengapa senjata itu dikenal memiliki tuah tersendiri dan begitu melegenda hingga kini?.
Dilansir dari laman NU.or.id (21/02/2018), senjata tradisional itu mencapai puncak popularitas dan menjadi mimpi buruk bagi penjajah saat peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Ribuan ulama, santri, dan para pemuda dari berbagai daerah berbondong-bondong ke Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru beberapa bulan di proklamirkan. Karena keterbatasan dana, kebanyakan para pejuang hanya membekali diri dengan bambu runcing, namun siapa sangka Belanda begitu ciut nyalinya mendengar senjata ini. Mereka lebih baik mati dengan peluru daripada harus terkena bambu runcing yang membuatnya mati perlahan.
Diketahui ternyata sebelum para santri dan pemuda yang tergabung dalam laskar Hizbulloh, Sabililah, dan Barisan Muslimin Temanggung berangkat ke Surabaya, mereka sowan terlebih dahulu kepada seorang tokoh ulama yang dikenal alim dan memiliki karomah yaitu Kiai Subchi yang bertempat tinggal di lereng gunung Sumbing dan Sindoro Parakan Temanggung Jawa Tengah. Kiai Subchi sendiri merupakan pendiri NU di daerah itu.
Karena dikenal kealiman dan karomahnya, para pejuang meminta sang kiai agar mendoakan perjuangan mereka dan juga mendoakan bambu runcing mereka agar tak kalah oleh senjata musuh. Tak disangka sang kiai malah menangis tersedu, dia merasa dirinya hanyalah hamba Alloh yang lemah saking tawadhunya. Namun para pejuang terus mendesaknya, hingga panglima Hizbuloh KH. Zainul Arifin menguatkan sang kiai bahwa apa yang dilakukan sang kiai sudah benar. Akhirnya sang kiai menuruti kemauan para pejuang, setelah itu terbukti bambu runcing menjadi senjata ampuh untuk mengusir penjajah.
Karena peristiwa itu Kiai Subchi lebih populer dengan sebutan Kiai bambu runcing, dan hari demi hari semakin banyak pejuang yang sowan padanya untuk meminta hal yang sama.
Saya sangat sedih karena hari ini banyak orang yang meragukan dan menyangkal soal kontribusi senjata tradisional itu dalam perjuangan bangsa. Padahal hal itu bukanlah isapan jempol belaka, para ulama, santri, dan para pemuda adalah saksinya, mungkin hari ini masih ada beberapa yang masih hidup. (ags)

close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==